Retas Sejarah

Bagus Anggoro // Resensi ‘Petrus: Patterns of Prophylactic Murder in Indonesia’

Justus M. van der Kroef, “Petrus: Patterns of Prophylactic Murder in Indonesia”, Asian Survey, Vol. 25, No. 7 (Jul., 1985), pp. 745-759 http://www.jstor.org/stable/2644242

Artikel ini mencoba membahas dan menyampaikan proses dan cara kerja perebutan kekuasaan territorial serta “pemberantasan” kriminalitas oleh Negara dalam bentuk keamanan lokal (siskamling) dan petrus. Van der Kroef dalam tulisannya mencoba membuat paparan umum tentang kondisi dari apa yang terjadi di masa 80-an. Konteks ekonomi politik juga dinyatakan oleh penulis sebagai latar belakang masalah kriminalitas yang muncul. Krisis ekonomi, banyaknya pengangguran, serta bahaya laten PKI disebutkan muncul sebagai latar belakang “pemberantasan” kriminalitas di masa itu. Namun dalam pembacaan saya dari tulisan van der Kroef, apa yang terjadi di masa itu terkait dengan upaya pemerintah merupakan suatu usaha pertunjukan kekuasaan dalam institusi bernama Negara.

Metode pustaka serta lapangan tampak sangat dominan dalam pengerjaan tulisan van der Kroef. Banyaknya kemunculan kutipan dari media pada saat itu serta penyajian pernyataan-pernyataan tokoh pemerintahan maupun masyarakat hingga saksi mata juga mendukung keberadaan tulisan van der Kroef. Pendekatan teoretis tidak saya temukan dalam tulisan ini, dan sebagian besar hanya berisi paparan tentang kondisi saat itu. Berbeda dengan tulisan “State of Fear” milik Joshua Baker dimana pendekatan teori dan penggambarannya sangat kentara. Pada dasarnya, van der Kroef ingin menjelaskan bagaimana pola dan cara kerja dari petrus serta bagaimana respon yang ada dalam konteks situasi pada masa itu.

Petrus yang merupakan akronim dari penembak misterius disebutkan berisi pasukan “khusus” yang diambil dari Kepolisian serta Tentara Nasional, yang kemudian diberi tugas “khusus” untuk mendeteksi kriminalitas, dan kemudian “mengamankannya”. Dalam praktiknya, pembunuhan pun menjadi legal dalam rangka meningkatkan keamanan. Operasi ini dimulai di Yogyakarta sebagai situs “percobaan” awal yang kemudian dikembangkan ke Jawa Tengah hingga ke seluruh pulau Jawa. Pulau Jawa dalam tulisan ini sangat diasosiasikan dengan keberadaan kriminalitas yang tinggi terkait dengan tingkat kepadatan penduduk yang ada.

Dalam beroperasi, Petrus secara tersirat juga menyampaikan teror dengan cara selalu “membuang” korban-korban pembunuhan di tempat yang mudah terjangkau publik atau dekat dengan keramaian. Sungai dan pinggirannya, bawah jembatan, pojok gang menjadi langganan untuk menampilkan mayat-mayat. Kadangkala mayat-mayat itu juga diikat dijadikan satu, lalu diletakkan di area yang dekat dengan publik, untuk kemudian diramaikan oleh masyarakat sekitar sebelum pihak yang berwenang datang.

Pertunjukan kekuasaan secara simbolik dengan menampilkan mayat, saya pahami sebagai usaha untuk menebar ancaman sekaligus juga untuk membatasi ruang gerak dari apa yang ingin dibatasi yaitu kriminalitas. Secara spesifik juga tidak disebutkan seperti apakah petrus itu. Bisa saja membaur dengan masyarakat dalam bentuk apapun. Ada kerancuan juga dalam pemakaian istilah petrus pada masa itu, karena tidak semua mayat-mayat yang ditemukan tewas dengan luka tembak. Ada yang ditusuk, dicekik atau dijerat hingga tewas.

Bagian berikutnya van der Kroef memaparkan bagaimana jaringan informasi dari petrus bekerja. Pengumpulan informasi tentang siapa oknum-oknum kriminal ataupun yang dicurigai sebagai kriminal, dilakukan oleh masyarakat lokal yang disusun secara terorganisir melalui program keamanan lingkungan. Kadangkala masyarakat lokal ini juga diberi kuasa secara tidak resmi untuk ikut “membasmi” oknum-oknum yang dianggap sebagai ancaman. Cara kerja yang sistematis inilah yang disinyalir oleh van der Kroef sebagai strategi yang cukup berhasil, ditandai dengan angka korban yang cukup tinggi serta kriminalitas yang menurun melalui statistik dari media.

Cara kerja yang digunakan petrus mirip dengan cara yang digunakan dalam penumpasan PKI di tahun 1965. Bahkan isu PKI pun dipakai dalam cara bekerja petrus. Dalam tulisannya, van der Kroef memaparkan kecurigaannya terhadap metode yang digunakan petrus ini memiliki keterkaitan dengan cara seperti penumpasan PKI. Menurut saya, di sinilah inti dari pemaparan van der Kroef. Pemerintah seperti tidak mau kecolongan; namun tetap dengan tangan bersih; bertindak untuk menanggulangi sesuatu yang baru, namun dengan menyertakan hal yang lama. Dalam hal ini dibaca sebagai pembasmian kriminalitas hingga melegalkan pembunuhan, dibumbui dengan sejarah masa lalu yang memang menjadi momok bagi masyarakat pada saat itu, dan digunakan sebagai alasan untuk melakukannya dalam bentuk petrus.

Pemerintah pada saat itu pun pada akhirnya juga merasa berhasil namun tidak pernah mau banyak membicarakan tentang hal ini di hadapan media. Media pun pada masa ini juga diawasi dengan ketat oleh pemerintah, supaya tidak terlalu banyak memberitakan tentang petrus. Hal ini saya baca sebagai salah satu cara pemerintah untuk menjaga kerahasiaan dari petrus tersebut serta makna sebenarnya dari operasi yang terjadi.

Secara umum, van der Kroef cukup berhasil memberikan gambaran pola serta situasi proses aksi petrus. Pembasmian melibatkan identifikasi yang muncul melalui masyarakat lokal untuk ikut menanggulangi secara komunal. Kekurangan dalam tulisan ini adalah kurang ditampilkannya teori-teori yang memang mendukung studi van der Kroef dalam membahas petrus. Namun apabila memang hanya gambaran umum yang ingin dicapai oleh van der Kroef, ini memang sudah cukup. Detail tentang ruang-ruang kekuasaan juga kurang dijelaskan disini, dan bisa saja memunculkan kebingungan akibat terlalu banyak nama yang muncul. Kendala lain yang muncul adalah kurangnya komparasi antara petrus dengan momok kejadian PKI. Pembandingan dalam tingkat alasan masih sangat kurang untuk menjelaskan korelasi yang terjadi dan bagaimana kesesuaian serta ketidaksesuaian yang muncul.

 

0 comments
Submit comment