Retas Sejarah

John Roosa dan Ayu Ratih // Sejarah Lisan di Indonesia dan Kajian Subyektivitas

Bagi para peneliti yang mengkaji sejarah Indonesia saat ini, sejarah lisan menawarkan banyak harapan. Sejarah lisan tampak sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman orang biasa, mengatasi keterbatasan dokumen-dokumen tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat. Sejarah lisan dapat pula menyoroti beberapa episode sejarah yang gelap dan misterius, seperti pembantaian massal 1965-66. Sejak jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, sejumlah individu dan organisasi telah melakukan penelitian sejarah lisan mengenai bermacam-macam topik, dari sejarah komunitas kelas buruh hingga kerusuhan di daerah perkotaan yang terjadi pada saat jatuhnya Soeharto. Tidak diragukan lagi minat baru terhadap kisah-kisah pribadi ini merupakan perkembangan yang sehat bagi penulisan sejarahIndonesia, yang masih dihinggapi obsesi positivis akan obyektivitas dan keterpukauan pada sejarah politik pemerintah pusat (yang bisa disebut sebagai pendekatan istana-sentris). Sekarang sudah semakin biasa kita mendengar peneliti berbicara tentang menemukan kembali suara korban kekerasan, suara kaum miskin, dan suara orang kecil atau mereka yang dipinggirkan (subaltern). Meski wawancara lisan dengan kaum elit politik jelas masih diperlukan untuk memahami lebih baik kejadian-kejadian tertentu yang terjadi setelah kemerdekaan, janji lebih besar yang ditawarkan sejarah lisan di Indonesia dewasa ini adalah rangsangan untuk menulis sejarah sosial. Menurut Henk Schulte-Nordholt, “sejarah lisan sangat penting bagi historiografi Indonesia,” bukan saja karena birokrasi pemerintah pada era Soeharto “tidak banyak meninggalkan arsip yang terbuka untuk umum,” tetapi juga karena sejarah lisan membuka peluang bagi sejarawan untuk mengalihkan perhatiannya dari negara dan “menyoroti pengalaman-pengalaman pribadi yang berada di luar kerangka kaku yang ditetapkan lembaga-lembaga negara” (2004: 18). Namun, betapapun menggiurkannya janji sejarah lisan, dalam praktek ternyata metode ini tidak dapat diwujudkan begitu saja. Sejarah lisan ternyata jauh lebih sulit daripada yang dibayangkan para pengagumnya. Sejumlah kegiatan penelitian sejarah lisan yang telah dicoba di Indonesia banyak yang gagal: beberapa berhenti di tengah jalan, beberapa lagi menghasilkan rekaman wawancara yang kemudian berselimut debu karena tidak disimpan dalam sistem pengarsipan yang baik dan tidak dikemas agar dapat digunakan masyarakat luas, beberapa lagi berakhir dengan sang peneliti yang terlalu kebingungan untuk mampu menuliskan apapun tentang hasil wawancara mereka, dan beberapa lagi diterbitkan dengan mutu yang meragukan.(1) Kegagalan-kegagalan ini sebagian mencerminkan masalah-masalah umum yang dijumpai dalam penelitian sejarah di Indonesia. Sistem pendidikan pada era Soeharto menghasilkan sebuah generasi yang sedikit sekali memiliki kesadaran sejarah dan hampir tidak mengenal buku-buku sejarah. Peneliti cenderung mulai dengan kesimpulan, bukan dengan pertanyaan. Kemudian, tanpa menghiraukan prinsip atau konsekuensi metodologis ia kumpulkan butir-butir informasi yang sesuai dengan kesimpulan-kesimpulan yang telah ditetapkannya terlebih dahulu itu.

Metode sering dicampur-adukkan dengan sumber, seolah-olah sumber dengan sendirinya sudah bermakna lugas dan memadai sehingga tidak diperlukan metode tertentu untuk menafsirkan atau mengolahnya lebih lanjut. Kami bertemu dengan banyak calon sejarawan lisan yang percaya bahwa untuk memulai penelitian mereka hanya perlu memilih topik (kekerasan 1965-66, misalnya) dan sumber (wawancara lisan). Sejarah lisan bagi mereka adalah hal yang sederhana: tinggal taruh alat perekam di hadapan seseorang, lalu berbicara dengan orang itu. Tetapi begitu wawancara mulai berjalan, mereka dilumpuhkan kebingungan: Bagaimana saya memilih orang yang akan saya wawancarai? Mengapa orang yang saya wawancarai tidak dengan sendirinya berbicara bebas lepas? Apa pertanyaan yang harus saya ajukan kepada orang yang saya wawancarai? Apa yang harus saya tulis? Singkatnya, ia tidak menguasai prosedur dasar penelitian.

Masalah-masalah lain yang dihadapi peneliti sejarah lisan lebih banyak terkait dengan ciri-ciri khas sejarah lisan itu sendiri. Bahkan meski seorang peneliti memiliki latar belakang pengetahuan sejarah yang cukup kuat pun, ia mungkin masih sama bingungnya, jika tidak lebih bingung, dibandingkan dengan peneliti lain, begitu berhadapan dengan sejarah lisan. Beberapa dari buku-buku sejarah Indonesia yang cukup terkenal dan didasarkan pada hasil wawancara lisan (seperti buku Benedict Anderson Java in a Time of Revolution) menggunakan wawancara lisan dengan cara yang persis sama dengan cara buku-buku itu menggunakan dokumen-dokumen tertulis, yakni sebagai sumber lain informasi faktual. Dari pengalaman kami, mahasiswa yang banyak membaca justru bisa menjadi pewawancara lisan terburuk. Jika ia hanya mencari fakta (seperti umumnya dilakukan sejarawan Indonesia), ia tampaknya lebih percaya kepada dokumen tertulis daripada kepada orang biasa dengan ingatan yang bisa salah. Jika terpikir saja untuk mengadakan wawancara lisan, mereka lebih tertarik mewawancarai pejabat-pejabat tinggi pemerintah dan orang-orang penting – para tokoh. Mereka yang bukan penganut empirisme bisa saja tidak berminat kepada sejarah lisan. Peneliti yang berminat kepada teori sosial, seperti mazhab Frankfurt yang sudah diperkenalkan dan disebarluaskan di sejumlah universitas Katolik, menghadapi kesulitan membangkitkan antusiasme menjelajahi dusun dan kampung untuk belajar dari orang-orang miskin yang tidak pernah mendengar nama besar filsuf Theodor Adorno, misalnya. Teori sosial, di Indonesia seperti halnya di tempat-tempat lain, menjadi setara dengan teologi sekuler baru, yang bukannya membantu penganutnya memahami masalah-masalah kehidupan sehari-hari, melainkan merentangkan jarak antara mereka dan masalah-masalah itu. Baik penganut empirisme maupun ahli teori sosial, belum berhasil mengembangkan narasi-narasi baru tentang sejarah Indonesia. Bisa dikatakan bahwa narasi dari zaman Soeharto yang kelewat menyederhanakan dan seringkali palsu mampu bertahan sedemikian kokohnya antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan sejarawan Indonesia menembus asumsi-asumsi mereka sendiri mengenai cara melakukan penelitian sejarah.

Tulisan ini merupakan penjelajahan berbagai dilema yang dihadapi sejarawan lisan. Kami tidak bermaksud mempermudah praktek sejarah lisan. Sebaliknya, kami berniat menjelaskan beberapa dari kesulitan-kesulitan yang muncul dalam penelitian yang sepintas lalu tampak sangat mudah, yang konon sesuai bagi “sejarawan amatir” – menurut pandangan sejumlah sejarawan profesional Indonesia. Sejarah lisan menuntut perimbangan antara berbagai prioritas yang saling bersaing, dan banyak dari prioritas ini berkaitan dengan kepekaan peneliti akan hubungan pribadi antar manusia. Sisi afektif dan emosi dalam penelitian sejarah paling menonjol dalam sejarah lisan, karena dalam sejarah lisan kita berdialog dengan orang-orang yang hidup. Di luar beberapa masalah teknis, seperti misalnya dimana sebaiknya meletakkan mikrofon dan bagaimana menyusun katalog hasil rekaman, buku penuntun tidak akan banyak membantu.

Tak ada buku penuntun yang dapat menetapkan dasar-dasar aturan main yang benar untuk memperkenalkan diri kita kepada orang lain, bercakap-cakap dengan mereka, dan menuliskan pengalaman-pengalaman mereka. Untuk melakukan penelitian sejarah lisan, peneliti harus melakukan apa yang disebut “working through” sehubungan dengan respons emosional mereka terhadap orang yang diwawancarai dan kejadian-kejadian yang sedang dikaji. “Working through” adalah proses yang berlangsung terus-menerus untuk menguji kembali asumsi-asumsi yang telah berurat-akar dalam diri kita, memeriksa apa yang kita anggap wajar, atau pandangan apa yang kita kendalikan agar tidak muncul ke permukaan.

Istilah “working through” berasal dari Freud dalam tulisannya pada 1914, “Remembering, Repeating, and Working Through,” yang membahas neurosis pada pasien yang mengulang-ulang suatu perilaku/tindakan tanpa henti, seolah-olah ia terperangkap dalam sebuah lingkaran (Freud 1911). Pasien seperti itu tidak ingat bahwa ia sudah pernah melakukan tindakan tersebut dan karena itu mengulang-ulanginya terus: “Ia mereproduksi tindakan itu bukan sebagai ingatan tetapi sebagai tindakan; ia mengulangi tindakan tersebut, tentu saja, tanpa menyadari bahwa ia sedang mengulanginya” (Freud 1958:150). Pengulangan suatu tindakan dari masa lampau tanpa berpikir adalah salah satu cara untuk menekan ingatan terhadap tindakan tersebut. Ia tidak memiliki jarak agar dapat melihat masa lalu dan membuat masa lalu itu sebuah obyek yang dapat digambarkan, diceritakan, atau dinilai. Freud menggunakan istilah “working through” untuk mengacu ke proses menciptakan jarak dengan masa lalu dan mengakhiri apa yang ia namakan “acting out” [memperagakan] masa lalu yang tidak reflektif. Tugas bagi penganalis dan si pasien adalah mengidentifikasi, melalui dialog, akar masalah ketakmampuan si pasien mengambil jarak tersebut. Freud tidak menawarkan standar yang tegas, bebas konteks, dan universal untuk menilai jarak yang tepat. Sebaliknya ia mengusulkan bahwa pengungkapan dengan kata-kata tentang kejadian pada masa lalu saja sudah menunjukkan adanya suatu gerakan menjauhi pengulangan kejadian pada masa lampau. Pada tahap ini, kita dapat berbicara tentang seberapa dekat atau jauh kita akan bergerak (Philips 2004).

[…]

Baca selengkapnya >>

 

0 comments
Submit comment